“Hai…kamu tidak bermaksud meninggalkan buket lili ini dikantor kan ? Bawa pulang sana atau aku suruh Ujang membuangnya ke tempat sampah…” maki Lusi dengan nada kasar padaku saat kita hendak pulang. Aku mendongak kesal padanya, bagaimana aku membawa buket lili sebesar itu pulang ke rumah, aku kan naik bus lagipula apa reaksi Anggun tahu aku mendapat bunga lili itu dari Josh ? Dengan sedikit menggerutu aku terpaksa membawa buket bunga lili itu pulang. Selama di bus orang-orang sibuk memperhatikanku, ada yang memuji, ada yang jahil menggodaku, untung saja hari itu aku tidak selesai bertengkar dengan Richard, kalau iya bisa-bisa aku lampiaskan amarahku dengan mengajak orang yang jahil denganku di bus untuk tengkar habis-habisan. Kulihat mobil Anggun belum nampak terparkir di rumah, aku menaruh lili-lili sialan itu di dekat tempat cucian piring. Lain kali aku akan bilang Josh kalau aku sama sekali tidak suka bunga atau apapun yang berbau perempuan, membuatku mual. Sejenak aku akan meninggalkan lili-lili itu begitu saja sampai aku ingat belum melepas kartunya, buru-buru aku melepasnya dan membuangnya di tempat sampah walaupun sebenarnya sayang sekali, bukankah itu tulisan Josh pertama untukku. Sedikit menyesal tapi aku mulai memikirkan reaksi Anggun nantinya jika membaca kartu ucapan itu.
———————————————-***———————————————————
“Hai…kenapa kamu menggeletakkan buket bunga di tempat cucian piring sayang…dari siapa itu ?”sapa Anggun saat pulang. Aku diam saja, pura-pura sibuk dengan laptopku. Kulihat dia sedang duduk membolak-balik majalah barunya. “Aku heran Josh tidak menelponku seharian, aku mengenal dia selama 2 tahun, selalu saja di hari valentine ada yang istimewa…dia tidak pernah lupa memberiku bunga atau hadiah lainnya. Dasar…si cuek itu kenapa sekarang tidak bisa bersikap sedikit manis denganku” keluhnya tiba-tiba. Dasar laki-laki bodoh, sepantasnya bunga itu buat Anggun bukan buatku…salah alamat ! “Kenapa tidak protes ?” jawabku perlahan. “Percuma, May. Dia pernah bilang, cinta tidak selalu harus dibuktikan dengan bunga, cukup melihat dari perhatian dia saja, aku baru bisa menilai…” sambungnya sembari menengok padaku dengan tersenyum, aku menuding padanya. “Aku rasa itu bukti yang lebih kuat. Aku mandi dulu” Aku beranjak meninggalkannya dan masuk ke kamar mandi.Tiba-tiba dering handphoneku berbunyi. “May…ada hand phone kamu bunyi!” teriak Anggun. “Kamu angkat saja…” teriakku. Kudengar suara Anggun mengangkat handphoneku. “Josh ? Kamu menelpon May ? Dia sedang mandi, ada apa ?” Aku menyandarkan telingaku di pintu kamar mandi saat tahu yang menelponku adalah Josh, ya Tuhan kenapa laki-laki itu masih saja nekat menghubungiku. “Tidak ada apa-apa koq…” jawab Josh saat hand phoneku di loud speaker oleh Anggun. “Josh ? Kamu masih ingat restoran sea food yang ku ceritakan, apa kamu tertarik ?” ujar Anggun, aku tersenyum kecut mendengar tawa lirih Anggun yang terkadang membuatku iri, cemburu tapi juga bahagia. “Ya…kamu pengen kesana ? Gak apa-apa, aku sedang nganggur juga…May ?” jawab Josh tapi masih menyebut-nyebut soal diriku. “Nanti kutanyakan apa dia mau ikut…”
Aku keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambutku yang basah dengan handuk. “Sayang, aku akan keluar dengan Josh. Kamu mau ikut ?” ajak Anggun sembari tersenyum ceria. Aku menjawabnya dengan bahasa tubuhku yang memberinya isyarat kalau aku tidak suka menjadi sapi ompong di antara mereka, tidak mau merana sendiri di tengah bahagianya mereka. “Tidak…” jawabku sembari mendekat dan mencium pipi Anggun. “Happy Valentine Day…oh ya…aku lupa bilang kalau bunga lili di dapur itu kiriman Josh…kurasa itu buat kamu. Eits tapi jangan bilang apa-apa padanya atau mengucapkan terima kasih padanya, cukup tunjukkan padanya kalau kamu senang karena dia sudah membuat harimu ceria” Aku melihat rona merah di wajah Anggun yang bersemu karena bahagia, dia buru-buru mengambil buket lili itu dan membawanya masuk ke dalam kamar. Ya Tuhan apa yang aku lakukan, aku telah melakukan sebuah kesalahan, aku memberikan kebahagiaan semu buat Anggun. Semoga dia mengampuniku. Tapi aku sungguh bahagia melihat rona merah di wajahnya tadi, membuatnya bahagia sama artinya membahagiakan diri sendiri.
Josh menjemput Anggun, dia terlihat sangat rapi dengan kemeja yang kelihatannya masih baru sementara Anggun sendiri berdandan sedikit istimewa seakan mereka memang sedang berkencan saja. Aku memperhatikan mereka dari jendela kamarku, kulihat Josh mendongak seolah mencariku, aku buru-buru menutup tirai dan membiarkan mobil mereka bergerak melangkah pergi.
——————————————————-***————————————————
“Sayang…kemarin malam Josh terlihat sangat tampan dan aku bahagia sekali…” ujar Anggun dengan mata berbinar-binar, langkahnya nampak berirama saat berada di dapur menyiapkan sarapan kita berdua. Aku yang sedang membantunya membuat roti panggang, memperhatikannya dengan serius. Inikah cinta itu, yang kulihat di bola mata Anggun…nampak menari-nari membuat wajah Anggun terlihat semakin cantik. Mungkin itu rasa indahnya jatuh cinta yang membuat orang tergila-gila, yang kulihat di langkah-langkah ringan Anggun di sela-sela senyumannya yang muncul diam-diam. Aku meletakkan roti panggang di atas piring dan meninggalkan Anggun sibuk mengaduk teh hangatnya. Aku melirik laptopku yang masih menyala hingga pagi gara-gara sibuk memikirkan ide buat perkembangan Ladies, majalah yang dibanggakan Richard. Ada inbox di emailku. Pertama… dari Josh ???
‘Hai…kenapa aku tidak melihatmu semalam di rumah ? Kamu juga tidak balas smsku dan bagaimana lilinya, kamu suka tidak ? Sebenarnya aku ingin mengajak kamu pergi, bagaimana dengan bersantai di tepi pantai, aku ingin sekali memotret kamu…Love, Josh’
Konyol, Josh aku harus segera melenyapkan niatmu untuk tetap mendekatiku.
Email kedua, dari Romi, si gay yang ku akui sebagai pacarku.
‘Hai…nona bawel bagaimana kabarmu ? Aku segera akan meluncur ke Indonesia sesegera mungkin, aku merindukan kamu sayangku. Jangan lupa siapkan budget untuk menjamuku sepuas-puasnya…masih mau jalan-jalan denganku di Anyer ? Sound great, aren’t you baby? Cup…cup muah…hahaha…’
Dasar Romi sialan, akhirnya kamu datang, kamu satu-satunya senjataku untuk menyingkirkan Josh dari hidupku…aku jadi miris mendengar ideku sendiri, apakah benar ini yang kuinginkan, kalau semuanya buat Anggun kurasa itu mungkin.
——————————————————-***————————————————
“Hai…May, dimana kamu ? Aku telepon dari kemarin tidak kamu jawab ?” umpat Romi saat menelpon ke telepon rumah. Aku tertawa lepas, bahagia rasanya mendengar suara malaikat penyelamatku. “Aku sibuk, gara-gara Richard memberiku tugas berat untuk merombak habis konsep Ladies…memangnya kamu dimana ?” jawabku dengan nada bersemangat. “Kamu pikir aku ada dimana ? Menara Eiffel ? No, honey…aku sudah di Jakarta, di tempat biasanya kita bertemu…sudah jam 12 malam, kutunggu kamu secepatnya” ujar Romi tidak kalah bersemangat. “Ha ?? Bagaimana aku bisa kesana, tidak ada mobil, Anggun belum pulang….” keluhku kesal pada Romi yang seenaknya mengatur pertemuan. “Masih ada taksi jam segini, baby…” jawabnya enteng, dasar gay sialan. Akhirnya aku keluar rumah dan pergi dengan taxi menuju tempat yang sudah kami janjikan. Sebuah club malam, tempat kami biasa nongkrong hingga pagi, dulu… Kulihat Romi sudah menunggu di kursi depan meja bar. Suasana malam itu ramai sekali, aku sudah lama sekali tidak kesini dan semuanya terasa asing buatku setelah bertahun-tahun terkurung di rumah Anggun. “Hai…my baby…long time no see…” sapa Romi memelukku. Dia terlihat tampan dan modis, siapa yang akan mengira dia seorang gay, semua perempuan akan setuju kalau dia adalah pria yang menarik. “Kamu sudah pesan minuman ?” tanyaku sembari melihat kalau dia hanya duduk merokok disitu. Dia menggelengkan kepala, aku menarik lengannya sembari memesan minuman, pindah ke sofa dan duduk berduaan dengannya. Dia merangkulkan tangannya ke pundakku, sementara aku sibuk menyalakan rokokku. “Aku traktir kamu minum sepuasnya…” ajakku. Dia melirikku dengan wajah curiga. “I know you baby, pasti kamu sedang butuh bantuanku…” Aku tertawa keras hingga badanku ikut terguncang. “Kamu benar, kamu satu-satunya penolongku…” “Why me ?” tanyanya memandangiku lekat-lekat. “Karena kamu satu-satunya teman dekat laki-lakiku…” Kening Romi berkerut, dia nampak lucu dengan wajah penuh tanda tanya seperti itu.
“Yah…sebenarnya ada satu lagi laki-laki, maksudku Richard…tapi apa mungkin aku minta bantuannya ? Kamu satu-satunya…” sambungku sembari menuangkan minuman untuknya. Dia tertawa kecil seraya meneguk minumannya perlahan, “What can I do for you ?” tanyanya, aku mengatur dudukku, menghisap rokokku dengan nikmat, mengamati setiap kepulan asapnya yang menari-nari di wajahku. “I’m falling in love…” jawabku yang membuat dia mendelik. “Siapa laki-laki nakal yang sedang berusaha mencurimu dariku baby ?” “Josh…” jawabku sembari tersenyum pada Romi. “Josh…” sambutnya sembari manggut-manggut. “Lantas masalahnya ?” “Romi, masalahnya adalah Josh ternyata mantan pacar Anggun dan Anggun ingin sekali kembali pada Josh…aku serba salah, Rom dan aku ingin Josh menjauhiku…karena sebenarnya aku tahu dia juga menyukaiku…” Romi menggelengkan kepala, tertawa kecil mendengar curhatanku. “Jadi ceritanya bersaing dengan kakak kamu yang kamu bilang soul mate kamu, dan lantas dengan apa kamu akan membuat Josh menjauhimu ?” “Karena itu aku butuh kamu…” potongku tidak sabar. “Me ? Memangnya apa yang bisa aku lakukan buat Josh menjauhimu ?” jawab Romi nampak kebingungan. “Jadilah pacarku…” jawabku sekenanya, dia tertawa terbahak-bahak. “Sayang…kamu belum menyentuh minuman ini sedikitpun tapi kamu sudah mabuk, you know honey, itu tidak mungkin…” “Kenapa tidak, kalau perlu aku akan bayar kamu…yang penting kamu mau pura-pura jadi tunanganku yang akan segera menikah denganku…” aku menjadi bingung menyakinkan Romi bahwa situasiku sangat mendesak. “Pertama kamu bilang jadilah pacarku dan selanjutnya kamu bilang jadi tunangan yang akan segera menikah denganmu…you drive me crasy baby ?” “Rom…please ini situasinya sangat mendesak dan aku butuh kamu…” paksaku sembari mencengkeram lengan Romi, Romi tidak menoleh sedikitpun padaku, dia justru asyik menikmati hentakan musik yang mampu menghipnotis setiap telinga yang ada di ruangan itu. “Sayang…pernah kamu berpikir sesuatu ? Dari dulu kamu selalu saja membiarkan Anggun memenjarakan seluruh kebebasanmu…dan sekarang dia mencintai pria yang sama dengan yang kamu suka, kenapa kamu tidak berusaha ikuti kata hati dan tidak terus-terusan berkorban demi Anggun ?”
“Romi…kamu bilang apa sih soal Anggun, kamu tidak kenal siapa dia ? Aku sangat takut kehilangan dia, jika dia melarangku keluar malam, bertemu teman-temanku, merampas rokokku mengisolir aku agar penyakitku tidak kambuh dan tidak mengijinkanku menyetir sendiri karena aku suka mabuk, aku tidak pernah keberatan. Karena aku tahu dia melakukannya karena dia mencintaiku…dan aku pun tidak keberatan dia mengambil semua duniaku asal dia tidak pergi kemana-mana. Romi, aku terlalu mencintainya sehingga aku tidak akan mengijinkan diriku sendiri menyakitinya…dan aku tahu dia sangat mencintai Josh…” keluhku perlahan dengan kalimat tidak beraturan, kurasa sesak memenuhi dadaku. “Tapi sampai kapan kamu akan berpura-pura ?” bantah Romi. “Kalau perlu seumur hidup aku akan berpura-pura demi dia…” jawabku dengan mata yang menghangat. Romi memandangku dengan muka masam. “Jangan libatkan aku baby…” “Romi !!” teriakku kesal pada Romi, hanya dia harapanku sekarang. “Baby, aku hanya mengingatkanmu, kalau kamu tidak jujur pada perasaanmu sendiri dan berbohong pada semua orang dan bertindak seolah-olah kamu pahlawan bagi mereka sementara jiwamu merana, kamu tidak akan pernah merasakan bahagia yang sebenarnya. Jika Josh lebih memilihmu, bukannya itu sudah sebuah alasan untuk Anggun mengalah padamu… pikirkan semuanya, girl. Dan ingat namaku memang Romi, tidak usah kamu teriakkan seperti tadi…dan kamu bukan Juliku…” Romi bergerak menjauhiku, aku berusaha menggapai tangannya dan dia hanya tersenyum nakal padaku. Dia turun ke lantai dansa, dasar gay sialan…aku masih ingin bicara denganmu, makiku dalam hati.
Aku bergerak meninggalkan mejaku untuk menelepon Anggun. “Hai, Anggun…” “Ya, sayang ada apa ?” jawab Anggun masih dengan nada bersemangat padahal jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. “Aku tidak sedang di rumah, Anggun. Maaf kalau aku tidak ijin sebelumnya, aku tadi menjemput Romi dan kami jalan-jalan sampai malam, dan sekarang aku akan menginap di rumah keluarganya yang ada di Jakarta. Besok pagi mungkin aku langsung kerja jadi…maafkan aku…Anggun” ujarku tanpa berhenti, tidak memberikankan kesempatan buat Anggun untuk memarahiku. “Oke…jaga dirimu baik-baik sayang…” jawab Anggun mendesah panjang. Kututup teleponku dan kembali ke dalam, mencari gay sialan yang meninggalkanku sendirian, kulihat dia berada di antara wanita-wanita berdandan seksi yang asyik menggodanya. Dia nampak risih, aku tahu kalau dia justru mengincar laki-laki tampan yang bisa diajaknya kencan. Ku perhatikan dia berjoget dengan menaikkan kedua tangannya seolah dia menghindar dari keagresifan seorang perempuan yang sedari tadi meliukkan badannya menggoda Romi. Aku tertawa kecil sampai dia menoleh ke arahku dan memberi aku isyarat untuk menghampirinya. Aku memotong jalan perempuan tadi dan mengajak Romi berdansa. “Ngapain joget seperti itu…sepertinya perempuan tadi ingin mengajakmu kencan…” bisikku pada Romi. Romi mengelengkan kepalanya, dia memeluk pinggangku dan kami berjoget bersama, dia memang pandai menari dan berdansa, aku dibawanya larut dalam hentakan musik. Kami tertawa bersama, suasana malam itu kian beranjak menjadi sangat hangat “Mau ke Anyer gak besok pagi. Lupakan Richard, aku ingin kencan hingga pagi denganmu, baby !” ajak Romi dengan kedipan nakalnya. “You drive me crasy baby…” jawabku sembari menyilangkan tanganku di belakang pundaknya.
Sampai pagi aku masih bersama Romi, tertidur di dalam mobil yang dia parkir di halaman parkir mall. “Rom…kamu mabuk…bangun!!” teriakku sembari mendorong kepala Romi yang menempel di pundakku. Romi bangun sembari mengusap kedua matanya. “Good morning…baby” sapanya sembari mengusap-usap kepalaku. Aku tersenyum memandangnya yang masih kelihatan tampan meski tampangnya acak-acakan, mungkin dia lumayan untuk dikencani tapi dia tidak pernah buatku jatuh cinta. “Kita cari sarapan yuk…” ajakku sembari mengambil alih kemudi mobil. “Hai…kamu juga mabuk…tidak boleh nyetir, bisa-bisa kamu mencelakakan aku juga…” teriak Romi memukul pergelangan tanganku. “Aku hanya minum dua gelas saja Rom…” bantahku masih ngotot ingin menyetir. Dia akhirnya mengijinkanku menyetir, aku berteriak senang, sudah lama rasanya menahan keinginan di hati berjalan-jalan dengan kendaraan yang kusopiri sendiri. “Jangan ngebut-ngebut…” omel Romi yang melihatku tidak memperhatikan kecepatan, aku mengejeknya dengan senyuman sinis. Kami sarapan pagi bersama, nampaknya dia sudah rindu masakan Indonesia, terbukti dia menyantap nasi pecel dengan lahap sekali. “Enak ya Rom…” godaku gemas melihatnya. Dia berkedip padaku sembari menguap kepedasan. Aku menggeser gelas minumku padanya. “Rom…bantu aku, please…” Dia menatapku lekat-lekat. “Apa kamu tidak berubah pikiran setelah aku mengingatkanmu semalam ?” Aku menggelengkan kepala dengan muka kubuat memelas. “Oke…honey terserah kamu, selama aku disini, aku akan lakukan apapun demi dirimu…” jawabnya yang membuat hatiku berseru bahagia. Tiba-tiba dia mencium pipiku. “Hei apa yang sedang kamu lakukan ?” teriakku seraya menepuk pundaknya. “Bukannya kita baru jadian ? tunangan ? mau married ?” godanya nakal padaku, aku tertawa kesal. “Sory baby…aku hanya akan menciummu sekali saja…” Aku mengibaskan tanganku memberinya isyarat kalau aku tidak marah padanya. “Aku pesan minuman lagi…”pamitku meninggalkannya sesaat.
Handphoneku berdering, bergetar di meja membuat selera makan Romi terganggu. Dia menoleh padaku yang memberinya isyarat agar dia mengangkat atau mematikannya saja. “Halo…May masih pesan minuman…siapa ya ? Josh ?” Spontan aku menoleh dan cepat-cepat kembali ke meja. Romi memandangku dengan wajah bingung. “Ya…aku Romi…” Aku mengejakan kalimat di depan Romi, Romi menirukan kalimat itu. “Romi, tunangan May…yah…nanti aku sampaikan…oke…” Romi mengakhiri pembicaraan dan memandangiku dengan wajah tidak mengerti. “Apa dia Josh yang kamu bicarakan ?” “Yah…baby…you right…” teriakku senang sudah memulai langkah untuk mendepak Josh jauh-jauh, meski jauh di hati aku ingin sekali mengejar Josh. “Kamu puas honey atau kamu jangan-jangan menyesal karena tidak sempat bicara dengannya tadi ?” goda Romi membuatku sedikit berpikir. “Sudahlah Romi, bukan perkara penting buatmu, nasi pecelnya aku yang bayar…” jawabku sembari kembali ke tempat penjual nasi pecel berada.
—————————————————-***—————————————————
“Mayang….apa kamu sudah memikirkan kira-kira bagaimana konsep Ladies yang baru? Acara presentasi di hadapan dewan komisaris sudah semakin dekat. Kalau sampai kita gagal menemukan ide yang segar maka sepertinya dewan komisaris tidak akan mengijinkan Ladies beredar lagi pada bulan berikutnya dan kamu tahu artinya buat kita? Kita akan didepak dari kantor ini….ingat itu, dan sekali lagi usahakan agar ide itu benar-benar belum pernah dipakai oleh majalah yang serupa dengan majalah kita terlebih itu majalah Cantik yang terus menerus mencuri ide kita dan menjadikan Ladies tidak laku di pasaran!!” omel Richard pagi itu sembari mondar – mandir di depan mejaku. Aku mendesah panjang, aku benar – benar belum menemukan ide sampai hari kesepuluh ini, aku benar – benar putus asa. “Ha? Apa yang sedang kamu pikirkan? Kenapa kamu hanya menatapku dengan wajah seperti itu? Jangan bilang kalau kamu belum memikirkannya sama sekali….kamu sendiri yang menyakinkan aku waktu itu?” sambungnya sembari membungkuk ke arahku dan melebarkan matanya seolah ingin menerkamku. Aku mendengus kesal “Bagaimana Bapak bilang saya tidak memikirkannya?? Hampir seluruh waktu saya tersita untuk memikirkan Ladies….beri saya kesempatan untuk menemukannya…” Richard tersenyum getir “Terserah kamu…nasib Ladies sekarang ada di tangan kamu!” jawab Richard seenaknya melemparkan permasalahan Ladies padaku padahal dia sendiri pun tidak membuahkan satupun ide ataupun masukan untukku, dia hanya bisa mengomel dan mengomel. Lusi mengitip pembicaraan kami, senyumnya menunjukkan padaku bahwa dia senang jika Richard mulai memarahiku. “Hai, ngapain kamu senyum seperti itu?? Setidaknya pikirkan nasib Ladies juga….bukankah jika Richard didepak dari sini, kamu pun bernasib serupa karena kamu sekretarisnya!!” celetukku gusar padanya. “Kenapa marah-marah?? Itu kan tugasmu…aku tidak akan mengerjakan yang bukan bagianku…” jawabnya sembari memalingkan mukanya.
—————————————————–***————————————————–
“Kenapa muka kamu masam sekali, sayang??” tanya Anggun yang terus memperhatikanku yang sedari tadi diam di depan laptop tanpa mengerjakan apapun. “Ada cerpen baru yang bisa aku baca?” tanyanya sekali lagi sembari menghampiriku. Aku menoleh padanya dan tersenyum. “Sama sekali tidak ada. Cerpen yang kemarin saja tidak selesai…aku sedang sibuk memikirkan nasib Ladies, kalau tidak bulan depan aku akan menjadi pengangguran.” jawabku dengan nada lemah. Anggun menyilangkan lengannya memelukku dari belakang. “Apa yang bisa aku bantu?” aku tahu setiap kali aku mengalami masalah, Anggun menjadi orang pertama yang akan menawarkan bantuan namun pelukannya saja membuatku merasa tenang. “Entahlah…aku sendiri bingung!!” jawabku mendesah panjang. “Aku punya seorang klien, namanya Ibu Susan. Dia seorang pengusaha batik dari Pekalongan yang sekarang menetap di Jakarta, dia orangnya sangat supel dan ramah….dia sangat loyal kepadaku. Kesukaan beliau adalah fashion, berlian, dia selalu tampil cantik dan anggun, dia juga gemar membaca majalah fashion seperti halnya Ladies.” ujar Anggun perlahan, aku menatapnya dengan pandangan penuh tanya, ingin tahu apa sebenarnya yang ingin Anggun ceritakan tentang kliennya itu. “Tapi sebenarnya yang aku ingin ceritakan ke kamu bukan itu melainkan kisah hidupnya yang menginspirasi aku. Dia seorang anak yatim piatu yang dibesarkan di Pekalongan, dia sedari kecil sudah melewati hidup yang sulit dan keras….sampai akhirnya dia menjadi pengusaha batik di Pekalongan bersama suaminya. Sayangnya kebahagiaan itu tiba-tiba lenyap darinya, suami yang dicintainya meninggal dunia dan dia harus sendirian menghidupi kelima anaknya. Usahanya mulai mengalami penurunan dan dia harus memutar otak untuk bisa bertahan demi anak – anaknya yang masih kecil. Dia banting setir menjadi pemilik toko kelontong, usaha yang sama sekali baru buatnya namun dia menjalaninya dengan sepenuh hati. Hingga anaknya beranjak dewasa dan lulus dari perguruan tinggi dan menemukan pekerjaan yang mapan. Dia boleh sedikit tenang dan santai, kemudian dia mulai menyadari jika kecintaannya pada dunia fashion belum juga surut oleh karena itu dia memulai usaha batiknya mulai dari nol lagi bersama anak – anak perempuannya. Dan ternyata dia berhasil dan sukses sampai sekarang. Dia bilang padaku “Wanita sering diidentikan sebagai mahkluk yang menyukai keindahan, termasuk di dalamnya itu mungkin yang bisa dibilang memiliki harga yang tinggi. Misalkan berlian, perhiasan lainnya, baju, sepatu, tas, parfum. Tapi bayangkan bagaimana wanita itu sendiri, bukankah memang dia layak mendapatkan semua setelah usaha keras yang dilaluinya……membanting tulang selayaknya lelaki?? Bahkan lebih dari itu semua….mereka layak untuk dicintai”
“Kurasa kamu perlu menuangkan ide bahwa majalah fashion bukan sekedar dipakai untuk mempertontonkan tentang kehidupan metropolitan dimana mayoritas wanita bekerja, mereka menggemari fashion yang seakan bernilai tinggi sehingga masyarakat beranggapan miring terhadap mereka sebagai mahkluk matrealistis, lantas kita tanpa mengulas bagaimana mereka layak mendapatkan semuanya…perjuangan wanita yang membanting tulang selayaknya lelaki dan kini mereka menikmati hasilnya sendiri?” Anggun beranjak bangun dari tempat dia duduk, ada semacam terang di kepalaku, sepertinya aku menemukan ide yang kucari. Ladies yang baru, yang tidak sekedar mempertontonkan bagaimana fashion terbaru tetapi lebih mengupas bagaimana wanita itu sendiri….”Richard, kamu pasti akan aku buat tercengang…” jemariku mulai lentik memainkan keyboard dan merangkai kalimat – kalimat konsep Ladies terbaru.
—————————————————***—————————————————-
Richard mengerutkan dahinya saat menerima konsep Ladies ideku, dia menggelengkan kepala. “Ladies adalah majalah fashion…bukan majalah yang mengupas ibu – ibu atau wanita yang ada dalam kepalamu itu! Just fashion…bukan yang lain, apa kamu mau sekalian buat Ladies mirip dengan bulletin mingguan yang dibaca ibu – ibu rumah tangga sekalian dengan resep masakannya? Ladies adalah untuk wanita karier, penyuka fashion, pengamat mode dan sebagainya….yang berkelas, Mayang!!!” serunya menolak mentah – mentah ideku, aku yakin dia tidak sepenuhnya mengerti maksudku. “Apa kamu mau menurunkan pamor dan reputasi Ladies? Aku ingin bukan sekedar membuat Ladies bertahan namun juga meningkat…” bantahnya sekali lagi. “Saya juga punya visi yang sama Pak…” potongku tidak sabar. “Kita akan jadi bahan tertawaan orang…” keluhnya sembari mendesah panjang. “Baiklah, begini saja…biarkan saya menyelesaikan ide saya kemudian saya akan serahkan dalam waktu seminggu ini, seandainya Bapak tidak menyukainya maka boleh Bapak rubah ide saya…” ujarku berusaha menyakinkannya. Richard bergumam tidak jelas, dari raut mukanya, aku tahu dia sedang berseberangan denganku. “Tidak ada banyak waktu…pergilah dan lakukan sesukamu!!” jawabnya sembari memberiku isyarat untuk segera menjauhi mejanya.
—————————————————-***—————————————————
//
Like this:
Like Loading...